Senin, 14 Desember 2009

Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria


Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 merupakan peristiwa penting di bidang agraria dan pertanahan di Indonesia. Dengan lahirnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA tersebut kebijakan-kebijakan pertanahan di era pemerintahan kolonial belanda mulai ditinggalkan. Undang-undang yang disusun di era pemerintahan Presiden Soekarno ini menggantikan Agrarische Wet 1870 yang terkenal dengan prinsip domein verklaringnya (semua tanah jajahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan pembuktian hukum barat, maka tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah milik negara/ milik penjajah belanda). UUPA merupakan produk hukum pada era Orde Lama yang menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan di bidang agraria dan pertanahan serta menghendaki terwujudnya pembangunan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 

Kebijakan pemerintahan pada saat itu lebih diupayakan untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana telah digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Untuk mewujudkan hal tersebut diatas dilakukan suatu upaya reformasi di bidang pertanahan (Landreform) yang pada waktu itu dikenal dengan Panca Program Agrarian Reform Indonesia, meliputi :
1.  Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum.
2.  Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
3.  Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.
4.  Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5.  Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Dengan adanya Panca Program Agraria Reform Indonesia yang merupakan suatu perwujudan kebijakan pemerintahan Orde Lama sebagaimana dituangkan di dalam UUPA tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan mengenai agraria maupun pertanahan. Akan tetapi dalam perkembangannya muncul berbagai permasalahan baru yang kurang begitu diakomodir di dalam UUPA itu sendiri. Pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan merupakan permasalahan penting yang mengketerkaitkan hubungan antara pemerintah sebagai penguasa, pemilik modal (investor) dan rakyat. Karena di dalam pembangunan tersebut tidak tertutup kemungkinan adanya suatu pola hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara penguasa dengan pemilik modal (investor) yang tidak memperhatikan kepentingan rakyat dan bahkan dapat merugikan kepentingan rakyat.

Distorsi yang memungkinkan terbangunnya hubungan simbiosis antara pemodal dan kekuasaan, yang karena kekentalan dan kekuatannya meminggirkan rakyat sesungguhnya dapat dilacak melalui tekad kekuasaan Orde Baru yang mempanglimakan ekonomi di awal rezim ini. Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru telah terjadi suatu pergolakan orientasi terhadap pembangunan. Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).


Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil atau petani) di bandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. Di dalam perkembangannya, UUPA dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agraria dan pertanahan. Lahirnya undang-undang baru yang berkaitan dengan agraria dan pertanahan diharapkan dapat meneruskan semangat UUPA yang lebih populis (berpihak pada rakyat kecil terutama para petani). Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara UUPA yang dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dengan undang-undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Banyak ketentuan-ketentuan dari berberapa Undang-Undang sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan di dalam UUPA.

Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan hanya berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik). Misalnya kelahiran Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, dengan adanya UU ini maka terlihat jelas adanya suatu pergerseran pola orientasi pembangunan menuju ke arah industrialisasi dan investasi yang dirasa tidak berpihak pada rakyat kecil. Kemudian muncul Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam peraturan tersebut, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA. 

Ketentuan dalam Undang-Undang kehutanan tersebut, masih memunculkan suatu sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005 ialah munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan adanya peraturan tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia. Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi rusaknya kemakmuran rakyat terutama rakyat tani, khususnya pencabutan hak atas tanah. Dalam pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan umumpun juga belum ada penjelasan secara detail siapa yang akan mengelola : negara, swasta atau rakyat. Sehingga dikhawatirkan semua yang mengatur tentang pengadaan tanah ini lebih difokuskan pada kepentingan swasta, bukan kepentingan rakyat. 

Sebagai contoh konkritnya, setelah berlakunya Peraturan Presiden tersebut makin banyak kasus penggusuran yang dilakukan oleh penguasa terhadap pemukiman warga yang terjadi di Ibu Kota Jakarta dan berbagai daerah lainnya di Indonesia. Maraknya berbagai kasus penggusuran tersebut menyebabkan terjadinya konflik kepentingan (Conflict of Interest) antara kelompok-kelompok tertentu, dimana yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil.


Ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang sektoral dengan materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut tidak hanya terjadi antara Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi konflik hukum (Conflict of Law) juga terjadi antara Undang-Undang sektoral itu sendiri. Salah satu penyebab utama kegagalan UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act) ataupun sebagai ¿pohon¿ peraturan perundang-undangan disebabkan karena materi muatan UUPA lebih dominan mengatur masalah pertanahan, sehingga menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut sebagai ¿Undang-Undang Pertanahan¿ daripada Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang ¿agraria¿. Meskipun harus diakui bahwa UUPA sesungguhnya juga mengatur tentang kehutanan, pertambangan, minyak dan gas bumi, penataan ruang, sumber daya air, dan lingkungan hidup. Namun pengaturan-pengaturan masalah tersebut belum jelas dan tegas sebagaimana halnya UUPA mengatur masalah pertanahan. 

Selain hal tersebut, UUPA dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya adalah :
1.  UUPA belum memuat aspek perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi masyarakat, khususnya petani dan pemilik tanah serta masyarakat adat;
2.  UUPA tidak mampu merespon perkembangan global, khususnya perkembangan yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki perubahan dalam pengaturan pertanahan;
3.  UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengkoordinir pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain sebagainya
  
Sebenarnya apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan sebagian kecil masalah yang dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang timbul di dalam bidang agraria khususnya bidang pertanahan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :
1.  Munculnya berbagai Undang-undang sektoral yang tidak taat / tidak sesuai dengan asas-asas yang termuat di dalam UUPA.
2.  Kurangnya pengakuan kedudukan masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous people) sebagai pemilik tanah adat di era pembangunan. Sehingga banyak dari mereka yang menjadi korban pembebasan tanah dalam upaya untuk mewujudkan pembangunan;
3. Kurangnya pensertifikatan tanah di Indonesia, dari kurang lebih 85 juta bidang tanah yang ada di Indonesia, baru 25 juta bidang tanah yang telah bersertifikat (baru sekitar 30 % dari keseluruhan bidang tanah yang ada di Indonesia). Selain itu juga permasalahan munculnya sertifikat ganda dalam satu bidang tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya sengketa pertanahan di Indonesia;
4. Timbulnya konflik kewenangan dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah setelah munculnya Undang-Undang Otonomi Daerah. Selain itu juga terjadi konflik antar departemen/instansi, karena muncul berbagai macam peraturan-peraturan sektoral yang saling bertentangan dan lebih cenderung mengutamakan kepentingan masing-masing departemen/instansinya. Sehingga hal tersebut sangat potensial mendatangkan ¿ego-sektoral¿ dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA); dan lain sebagainya.


Dari beberapa uraian permasalahan diatas, maka perlu dilakukan suatu penataan kembali kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan mengenai agraria maupun pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita Reformasi Agraria (Agrarian Reform) maupun Reformasi dalam bidang pertanahan (Land Reform). Beberapa alternatif penyelesaian permasalahan tersebut diantaranya penyempurnaan aturan-aturan mengenai agraria maupun pertanahan sehingga terjadi keselarasan antara UUPA dengan beberapa Undang-Undang sektoral, perbaikan kinerja departemen / instansi yang bergerak di bidang agraria khususnya di bidang pertanahan, Salah satu upaya penting guna mewujudkan hal tersebut adalah dilakukannya penyempurnaan (perubahan maupun amandemen) UUPA.

Pada dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa perubahan maupun amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah menjadi pembahasan sejak dulu. Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA telah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dalam upaya untuk menyempurnakan UUPA hendaknya perlu diperhatikan beberapa pertimbangan sebagai berikut :
1.  Pertimbangan naskah akademis sebagai dasar penyempurnaan UUPA untuk kedepannya. Agar amandemen maupun perubahan UUPA tersebut mampu menjadi instrumen hukum yang efektif, responsive, dan antisipatif dengan zamannya, maka diperlukan naskah akademis amandemen yang rasional komprehensif.
2.  Penguatan dan penghormatan Hak Ulayat, untuk kedepannya harus ada suatu penguatan terhadap hak ulayat sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA. karena hal tersebut merupakan suatu upaya untuk mengakui eksistensi keberadaan masyarakat adat / penduduk asli setempat (indigenous people).
3.  Penegasan pengaturan mengenai pembatasan tanah pertanian dan tanah non-pertanian, karena dirasakan adanya kesenjangan pemeliharaan dan pemanfaatan tentang tanah adat serta semakin jauh jarak dan rentang antara miskin dengan kaya.
4.  Penegasan pengaturan mengenai pembebasan tanah, sehingga di era industrialisasi pada masa sekarang ini pemerintah tidak hanya mengutamakan kepentingan para investor saja. Pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan rakyat yang menjadi korban dari pembangunan, misalnya, dengan memberikan kompensasi / uang ganti rugi yang layak serta relokasi bagi warga.
5.  Penyerasian UUPA dengan Undang-Undang sektoral lainnya, sehingga tidak terjadi suatu pertentangan antara peraturan yang mengatur masalah agraria maupun pertanahan.
6.  Guna mengatasi permasalahan yang timbul di bidang agraria dan pertanahan, berkaitan dengan kelembagaan maka perlu dibentuknya Departemen Agraria yang akan membawahi berbagai urusan seperti : urusan kehutanan, tata ruang, pertambangan, lingkungan hidup, minyak dan gas bumi serta lain-lain yang urusan tersebut bisa diserahkan kewenangannya setingkat Direktorat Jendral (Dirjen).



SEJARAH HUKUM PERDATA


1.      HUKUM PERDATA BELANDA

Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).

Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata tersendiri  yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100 Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1924] & usaha pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia [pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. 

Keinginan Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat nasional, yang diberi nama :
1.      Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan disingkat dengan KUHPdt.
2.      Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab ini akan disingkat dengan KUHD.

Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830 dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis.  Menurut Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.

2.      HUKUM PERDATA INDONESIA

Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah dibentuk B.W. Hindia Belanda   yang susunan dan isinya serupa dengan BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia, pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem.

Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.

Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan  berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru  berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda  disebut juga Kitab  Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.

Pasal 2 ATURAN PERALIHAN UUD 1945

Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

3.      B.W./KUHPdt  SEBAGAI  HIMPUNAN TAK TERTULIS


B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S. Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang dipersamakan ini terus berlangsung.  Keberlakuan demikian adalah formal berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan keturunannya [diskriminasi]. 

Disamping itu materi yang diatur dalam B.W. sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri  Kehakiman  RI  pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap  B.W ( KUHPdt ) Indonesia sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti dan yang  tidak sesuai dapat ditinggalkan.


4.      SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963

Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada semua Ketua Pengadilan  Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt. antara lain pasal berikut :
  1. Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
  2. Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
  3. Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
  4. Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
  5. Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu  perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
  6. Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi  antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
  7. Pasal  1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
5.      HUKUM PERDATA NASIONAL

Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :
a.      Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Untuk mengetahui  hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo. Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada hukum  yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan hukum adat.
b.     Berdasarkan Sistem Nilai  Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila. Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum & perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan hakim/yurisprudensi  & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c.      Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum pembuat Undang-Undang  Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang adalah Presiden bersama dengan DPR  [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang  bahkan diusahakan dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang  Pokok Agraria No. 5/1960.
d.      Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia adalah pendukung  hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu bangsa merdeka yaitu Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam masyarakat.
e.      Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia. Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di luar negeri. Keberlakuan  hukum perdata nasional untuk semua WNI di seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila  ke tiga “ Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum nasional.

SUMBER-SUMBER HUKUM PERDATA
1.                  Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata adalah asal mula hukum perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan . Asal mula menunjukank kepada sejarah asal dan pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2.                  Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum perdata adalah hukum perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) . Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan UUD 1945. Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk juga aturan peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti formal.
3.                  Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan Undang-Undang  hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23 memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana hukum  perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad. Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil saja dalam Lembaran Negara RI.

KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA

1.      Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk Undang-Undang  biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum tertentu bidang misalkan, hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara pidana, tata negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang biasa, maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP, PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan perundang-undangan. Himpunan ini disebut “himpunan peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan agraria, himpunan peraturan perkawinan, himpunan peraturan. 

Apabila Undang-Undang dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu dipenuhi adalah :
q       meliputi bidang hukum tertentu
q       tersusun secara sistematis
q       memuat materi yang lengkap
q       penerapannya memberikan penyelesaian tuntas

Bidang hukum tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah terbentuk misalnya bidang hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum acara perdata dan acara pidana . Materi bidang hukum yang dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap , artinya bidang hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan diikuti. Kodifikasi  berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu dalam kitab Undang-Undang  yang tersusun secara sistematis, lengkap dan tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.

2.      Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis. Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi. Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang  Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian terkecil yaitu :
q       kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q       tiap buku tersusun atas bab – bab
q       tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q       tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q       tiap pasal tersusun atas ayat – ayat

Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut :
I.        kelompok materi mengenai orang
II.     kelompok materi mengenai benda
III.   kelompok nateri mengenai perikatan
IV.  kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum  ada 4 yaitu :
I.        kelompok materi mengenai orang
II.     kelompok materi mengenai keluarga
III.   kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV.  kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I.        Buku I mengenai Orang
II.     Buku II mengenai Benda
III.   Buku II mengenai Perikatan
IV.  Buku IV mengenai Pembuktian 


SISTEMATIKA KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt. Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya. Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). 

Dengan demikian perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I.        Buku  I  KUHPdt. memuat  ketentuan  mengenai   manusia  pribadi   dan keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II.     Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan segala akibatnya).
III.   Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda dan perikatan.
IV.  Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum acara perdata).

BERLAKUNYA HUKUM PERDATA

 

Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar berlakunya hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian yang dibuat oleh pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh hukum. 

Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
1.      Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan Undang-Undang artinya Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang mengikat semua orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika tidak patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :
a.      Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b.     Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c.      Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban membayar kerugian kepada yang dirugikan.
d.      Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli


Pelaksanaan kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a.      Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat monogami.
b.     Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak bersetubuh dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh hak atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c.      Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari penututan.

Sukarela berarti terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah bersedia melaksanakan kewajiban tersebut atau tidak [tidak ada paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya peristiwa hukum karena :
a.    kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b.   perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c.    keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak

Dalam Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul hubungan hukum  antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik adanya hak dan kewajiban
2.      Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya. Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. 

 Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1.    Perjajian harta kekayaan  yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2 jenis :
q       perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan kewajiban dan hak;
q       perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2.    Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang  moral dan kesusilaan.

Supaya penerimaan kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.
3.      Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusan. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam hukum perdata. Untuk menyelesaikannya dan menetapkan  siapa sebenarnya berkewajiban dan berhak menuntut hukum perdata, maka hakim karena jabatanya memutuskan sengketa tersebut. Putusan hakim  bersifat memaksa artinya  jika ada pihak yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak mematuhinya  hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu dengan bantuan alat negara.
4.      Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan pemenuhan [prestasi] dan realisasi kewajiban  hukum perdata. Ada 3 kemungkinan hasilnya yaitu  [1] tercapainya tujuan apabila kedua belah pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam perjanjian tidak akan  menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak melaksanakan kewajiban  hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan tujuan tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.

Ialah keseluruhan dari ketentuan hukum, yang mengatur hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain, termasuk Badan Hukum dengan Bumi, Air, dan Ruang Angkasa dalam seluruh wilayah dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut.Hukum agraria secara umum diatur dalam UU No. 24 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria. Hukum agraria terdiri atas : 

Hukum agraria terdiri atas :

a.Hukum pertanahan Ialah bidang &nbsphukum yang mengatur hak-hak pengaturan atas tanah

b.Hukum pengairan Ialah yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak atas air

c.Hukum Pertambangan Ialah bidang hukum yang mengatur hak penguasaan atas bahan galian.Hukum pertambangan secara khusus diatur dalam UU no. 11 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan

d.Hukum kehutanan Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas hutan da hasil hutan.

e.Hukum Perikanan Ialah bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas ikan dan lain-lain dan perairan darat lain.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar